Lama ngga` manggung dan gak pernah latihan waktu manggung pertama agak sedikit ketetoran.
(Bulan September 2009)
Mari kita berbisnis online untuk menunjang perekonomian kita bersama-sama, enak juga lho bisnis online. Silahkan mencoba segera,,,,
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Lama ngga` manggung dan gak pernah latihan waktu manggung pertama agak sedikit ketetoran.
Sanni, itulah namanya, seseorang yang telah menghuni penjara suci sejak pertama sampai sekarang. Banyak orang memandang sebelah mata, karena segentong tahi lalat yang menempel dipucuk hidung.
Keberadaannya di pondok menjadikan lebih dewasa, pandai terlebih lagi mandiri. Meskipun banyak hal yang telah didapat, cuma sekelumit hal yang masih sangat menempel dibenak yaitu ketika ia mengidap penyakit kulit yang lama sekali sembuhnya juga saat aksesoris mungilnya tergosop.
Tiba-tiba Yaku seorang teman bergegap pergi dari pondok, “San, sandal kamu aku bawa dulu za…!”. Beberapa saat setelah sandal jepit kesayangan hilang, dia mencari-cari sampai kemana-mana. “Wah ! Sejatinya alas kakiku itu kemana to? Beberapa hari aku cari`in kok ga` kunjung ketemu”.
Termenung sejenak Sanni bergegas mengambil wudlu dan langsung mengerjakan sholat sunnah. “Allahu akbar…”, lafadznya ketika sedang dalam keadaan niat. Beberapa detik setelah sholat, lalu ia berdo`a, “…Ya Allah dimanakah haqiqat gerangan sandal jepitku itu ya Allah”.
Secara tak sadar, dari berbagai sudut ditertawakan oleh teman-teman sejawatnya. Dari sudut kiri, Santo yang tertawa dan berbisik, “weleh-weleh…! sandal jepit aja kok dipikirin, capek deh !”. Sedangkan dari sudut kulon, Sonta mringis dengan dua gigi sepertihalnya kecilin, upss…sorry-sorry kelinci maksudnya.
Meskipun kayak gitu, Sanni tak tergoda maupun ceak-ceok untuk menanggapi bisikan-bisikan yang datang dari berbagai sudut dengar. Tanpa banyak tingkah, Sannipun kandas dari tempat persembahyangan. Dengan hati sedikit grundel, Sanni dengan tergesa-gesa menjemput sabun, handuk dan peralatan mandi lainnya untuk menginjakkan kaki ditempat yang penuh dengan gemericik air dipojokkan rumah.
Tapi sayang, lagi-lagi onderdil yang satu ini ikut lenyap dibawa kabur oleh sang panjang tangan yang lincah lagi gesit. Termangunglah sejenak sambil mangguk-mangguk, “Oh…! kayak gini to, mentang-mentang punya dalil ulima ridlohu sudah berani menggosop banyak barang”.
Datang sahabat karibnya, Suwanto dari Timur ke Barat kemudian menyapa, “San, ngapain lho? nglamun mlulu`, entar ayamnya tetangga kamu pada modar lho…!”. Hati Sanni terhentak dan menjawab, “udah tahu nanyak?”. Dan dengan pancaran mata yang penuh kemarahan, tak sengaja ia tertuju pada sendal yang dipakai Suwanto.
Tak pandang bulu Sanni langsung menghampiri Suwanto dan berkata, “Su…, sandal siapa yang kau kenakan itu?”. “mangnya napa?, nikan sendal gue, yang dikasih teman aku”, ujar Suwanto sambil mencuwekkan diri.
*****
Keesokan harinya, Sanni menorehkan hitam diatas putih alias menempel kertas peringatan dipapan pengumuman. “Rantailah sendalmu atau bahkan carikan hansip buat penjaga sendal jepitmu”. Itulah benang merah yang telah menjerat dibenak.
Banyak orang bertanya-tanya dan khawatir akan kata-kata yang tertempel dipapan pengumuman tersebut. Akan tetapi semuanya berbalik suasana, awalnya khawatir malahan di pondok tersebut berkembang menjadi dosa beruntun terus menerus yaitu satu santri dengan santri yang lain saling nggosop-menggosop tanpa pandang.
Bersamaan dengan naiknya pancaran sinar matahari datang wali santri, tepatnya wali santri dari Ponaryo yang berkunjung ke pondok dengan maksud ngirimi buah hati beliau. Beberapa selang kemudian setelah sendal terlepas dari kaki wali santri, tiba-tiba seorang santri keluar dari pondok dan langsung menyikat sandal jepit dihadapannya. “Ndol, jangan dibawa ndol, itu senpit (sandal jepit)nya wali”, tutur ketua pondok, Kesono panggilan akrabnya.
Ternyata tanpa diduga-duga Sannilah yang menggosop sendal wali dari Ponaryo, akan tetapi ia tak merasa dan juga tak menghirau akan teguran pak lurah. “Salah siapa?, sudah beberapa hari ini sendal jepit I tak nongol-nongol batang hidungnya”, ujar Sanni sambil melangkahkan kakinya.
Terik matahari mulai berkumandang wali santripun pulang dan kembali ke kediaman. Layaknya orang gila, selama perjalanan wali itu selalu berkata, “Eh… ternyata mondok itu menjadikan anak kita to be penggosop gesit dan handal lho…! Jangan sekali-kali mengenyamkan anak anda sekalian kedalam penjara suci”.
Selang beberapa hari kemudian, banyak gambaran-gambaran jelek melontar kebenak para ustadz tak tertinggal juga kyai di pondok Sanni. Kabar tersebut mengakibatkan terjulangnya nama baik pondok. Karena sangking gemparnya kyai bergegas mengambil tindakan dan langsung mengumpulkan seluruh santri untuk diintrogasi dan dimintai keterangan akan adanya issue-issue menjulang tentang keadaan para santri yang to be penggosop-penggosop handal dimata masyarakat. Sesampainya dipertengahan pengintrogasian, kyai mengeluarkan kepeng (keputusan pengasuh):
“1. Seluruh santri yang ada dibawah naunganku saya tegaskan kembali bahwasannya: haram hukumnya nggosop ”. Bersamaan dengan itu Selatan ke Utara Santo menyeloteh keras, “walah… kalau begitu kita tidak bisa disebut dengan santri yang sempurna dong, jika ngga` nggosop”.
Tanpa banyak kata langsung deh kyai melanjutkan kepeng. ”2. Menggunakan sendal selen boleh dengan tanpa izin, asalkan belum ada yang nggrekso”. ”Itulah 2 kepeng yang harus dipatuhi dan didengarkan oleh semua santri”, tutur lurah ponpes.
Matahari mulai turun para santripun harus puas dengan semua kepeng yang telah terlontarkan dan mau ngga` mau harus mau sam`an wa to`atan terhadap 2 kepeng itu. Santri tak tahan akan keadaan yang ada sekarang, lalu rame-rame santri mengeluh sambil bertutur, ”wah-wah...!, santri zaman sekarang kok ngga` nggosop. Apa kata dunia?”.
Itulah namaku, seseorang yang hanya menghabiskan waktu untuk buang-buang saja tanpa perbuatan-perbuatan yang bermanfa`at, baik bagi diriku sendiri maupun buat diri orang lain disekitar aku. Akan tetapi aku mempunyai banyak angan-angan yang berada dalam bayang-bayang Ra`sunku. Sayang, itu semua hanya awang-awang yang tanpa ada tindakan-tindakan setelahnya. Itulah kebodohan yang jelas tergambar dalam diriku yang secara sadar dihiraukan oleh seseorang yang bernama IHSAN tersebut. Oh Tuhan….!, begitu jelek perjalanan kehidupan yang berada pada diri orang ini, tanpa adanya kesadaran yang melintas dibenak mahluk jelek ini. Sayang-sangat sayang mahluk Tuhan yang satu ini, ternyata tak dapat segera sadar atas segala yang telah diberikan orang tuanya dengan jalan yang susah payah dan banting tulang. Apa kamu seperti itu…???///
Kunjungan Crew LKiS ke PP Hasyim Asy`ari BangsriBANGSRI-Rabu, 29 April 2009 tepat adanya kunjungan yang dilakukan oleh sebagian CREW LKiS dari Yogyakarta, dalam kesempatan kali ini sebagai ajang promosi atas adanya komunitas MATAPENA.
“cintailah semua yang ada di bumi, niscaya semua yang ada di langit akan mencintaimu” (Hadist Riwayat Al Bukhari).
Saat itu 10 Januari tahun 2002. Rumah kecil nan sederhana tanpa halaman seolah tak sanggup lagi menampung para pelayat yang terus berdatangan sejak siang. Lintas usia, lintas tempat dan lintas profesi mereka silih berganti berdatangan. Mulai anak anak, pemuda , orang tua sampai yang lanjut usia dari berbagai kampung dan latar belakang pekerjaan terus berdatangan dengan maksud bertakziah menghormati jenazah orang yang mereka cintai. Tepat jam 14.30 setelah jenazah dimandikan dan selesai dikafani, orang orang berebut ingin mengusung pasaran (keranda/alat untuk membawa jenazah) ke mushola terdekat. Demikian pula prosesi shalat jenazah. Karena terlalu banyaknya massa yang ingin shalat jenazah, akhirnya diatur sampai tiga puluh shift lebih shalat berjamaah yang dilakukan secara bergantian. Baru kali ini mushala sederhana di kampung yang dikesankan kumuh itu menampung dan melayani banyaknya jemaah. Gema takbir dan tahlil menggema, bergemuruh memecah suasana kampung yang biasanya sepi dan menyeruak menggetarkan perasaan siapapun yang datang dalam prosesi itu.
Siapakah gerangan yang wafat itu? Pejabat tinggikah? Atau orang kaya yang populer dan banyak pengikut? Ataukah ulama besar? Ternyata bukan. Dia adalah Pak Marzuki, warga biasa, tukang nasi uduk. Orang orang di kampung itu biasa memanggilnya dengan panggilan pak Ajuk atau Bah Ajuk. Tiap pagi sampai jam sembilan dia mangkal jualan nasi uduk di samping pos ronda melayani masyarakat kampung itu yang kebanyakan kaum tidak berpunya (dhuafa) atau siapapun yang ingin sarapan pagi secara murah tapi menyehatkan. Murah? Ya, saat itu ketika terjadi krisis finansial yang luar biasa dahsyat, dimana harga harga makanan dan kebutuhan pokok lainnya melambung tinggi, pak Ajuk justru menjual paket nasi uduknya seharga seribu lima ratus rupiah per porsi. Paket satu porsi itu berisikan satu bungkus nasi uduk yang sudah dibumbui dan dilengkapi goreng bawang dan irisan telur goreng serta kuah sambal, ditambah dua buah tempe goreng bertepung dan tiga tusuk cungkring (sejenis sate terbuat dari kulit sapi atau kerbau) kalau senang dengan kerupuk pak Ajuk menawarkan kerupuk yang sudah dibungkus plastik sebagai bonus tambahan.
Cukup untuk mengenyangkan perut. Mungkin karena murah dan bersih itulah setiap pagi hampir semua keluarga di kampung itu dan sekitarnya beramai ramai antri membeli nasi uduk pak Ajuk. Setiap hari pak Ajuk jadi andalan sarapan isi perut mereka yang hidup pas pasan. Dua puluh kilo gram beras setiap harinya pak Ajuk cadangkan untuk mereka. Mengapa pak Ajuk hanya menjual senilai Rp 1.500,- seporsi, padahal bila dihitung modalnya saja per porsi bisa seharga Rp 5.000,- bahkan lebih. Mari kita hitung. Cungkringnya saja bila dihitung berdasarkan standart harga bahannya saat itu bisa senilai lima ratus sampai tujuh ratus rupiah per tusuk ( di tempat lain memang dijual seribu rupiah per tusuk), kemudian tempe goreng bisa lima ratus rupiah per buah. Jadi untuk tiga tusuk cungkring dan dua buah tempe goreng saja modalnya sudah Rp 2.500,- belum lagi nasi uduk dan irisan telur serta kerupuk goreng yang dikemas plastik. Mengapa Pak Ajuk menjualnya dengan harga sangat- sangat murah? Itulah pertanyaan yang senantiasa muncul dibenak masyarakat saat itu, dan sampai akhir hayatnya pak Ajuk tidak pernah sekalipun menjawab dan menjelaskannya kepada para pembelinya. Akhirnya orang orang juga tidak pernah pusing lagi memikirkannya. Mungkin bagi mereka pertanyaan tadi tidak penting, yang penting perut mereka terjamin setiap pagi oleh olahan tangan dan kebaikan pak Ajuk. “Dari pada nanyain dan penasaran karena tidak pernah dijawab, mendingan kita syukurin aja dan kita doakan semoga pak Ajuk sehat terus dan tetap menjual nasi uduknya seharga itu” demikian kata pak RT yang berfrofesi sebagai tukang sol sepatu, meredam kepenasaranan warganya.
Pak Ajuk dicintai masyarakat sekitarnya bukan hanya karena nasi uduknya saja, tapi justru dari praktek hidup kesehariannya yang bersahaja dan berwatak mulia. Tangan dan kakinya ringan dalam memberi dan menolong. Bicaranya tidak banyak, tapi lembut, halus , menyenangkan dan menentramkan. Pandangan matanya teduh dan menyejukan, pembawaannya kalem dan mendamaikan. Kemuliaan hidupnya lebih banyak terpancar dari bahasa tubuhnya ( non verbal) dari pada bahasa verbalnya. Dia pendiam dan tidak akhli berpidato atau berceramah. Bila ada yang sakit atau tertimpa musibah, tanpa dimintapun Pak Ajuk memberi pertolongan secara total dan ikhlas. Dia mencintai masyarakat sekitarnya dengan cinta yang tulus. Kecintaannya kepada sesama apalagi yang dhuafa, mengalahkan segalanya termasuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Aktifitas kesehariannya dimulai sejak waktu shubuh, dia mengimami shalat subuh di mushala dekat rumahnya. Sementara istrinya menyiapkan jualan nasi uduk, pak Marzuki membimbing ngaji kitab kuning bagi warga sekitarnya, khususnya anak muda sampai jam setengah enam pagi. Jam enam sampai sembilan pagi dia melayani masyarakat dengan nasi uduknya. Jam sepuluhan dia ke pasar jualan pepaya. Cara jualan pepayanya pun penuh nuansa kemanusiaan. Dia kumpulkan pepaya dari para petani disekitar kampungnya dengan harga di atas harga pengepul lain, dia jajakan di kaki lima ke pembeli setianya atau dia drop ke kios buah langganannya di pasar itu. Anehnya setiap hari dagangannya selalu habis sebelum wakitu shalat ashar. “Pepaya pak Ajuk rasanya lain, selalu manis dan segar”, demikian komentar para pelanggannya. Dia shalat dhuhur di masjid pasar dan kadang kadang menjadi imam, kemudian dia teruskan berjualan sampai menjelang asar. Selepas shalat asar di mushalanya dia lanjutkan dengan mengajar Alquran bagi anak anak . Habis magrib dia membimbing para orang tua belajar baca alquran sampai isya. Demikian aktifitas rutin kesehariannya. Tempat sosialisasinya adalah rumah , mushala/mesjid dan pasar.
Orang orang di pasar menjuluki pak Marzuki sebagai orang sholeh dan dermawan. Sebagai pedagang kaki lima tentu tidak besar omset dan keuntungan dagangnya, tapi anehnya bila musibah menimpa sesama teman dagangnya, dialah yang paling pertama datang dan memberikan bantuannya. Anak anak pedagang yang terancam putus sekolah karena kesulitan biaya, dia jamin dan dijadikan anak asuhnya. Total anak asuhnya saja saat dia meninggal tidak kurang dari tiga puluh orang. Mereka adalah anak anak usia sekolah dasar dari kampung dan sekitarnya serta anak pedagang di pasar tempat dia jualan. Dia jamin biaya sekolahnya mulai SPP sampai biaya alat tulis. Pak Marzuki senantiasa menekankan kepada para orang tua anak tersebut bahwa mereka harus tamat SD. Dimata pedagang lainnya pak Marzuki adalah jaminan sekaligus teladan hidup. Dia tidak pernah menceramahi atau mengajari orang di pasar dengan mulutnya, dia mengajari dengan prilakunya yang Islami.
Saat itu banyak orang takjub sekaligus heran dengan pak Marzuki. Dari mana biaya sekolah anak anak asuhnya yang setiap tahun terus bertambah? Dia memang tidak dikaruniai seorang anakpun, tapi kecintaannya kepada anak anak asuhnya menyempurnakan jiwa asuhnya terhadap anak. Tidak hanya biaya sekolah, bila mereka sakit, pak marzuki mengobati dan menanggung biaya pengobatannya. Jadi dari mana uang pak Marzuki ? Selalu saja pertanyaan itu muncul di benak semua orang kecuali Uak saya, tetangga sekaligus sahabat dan teman dekatnya sejak remaja.
Selepas shalat shubuh tiga hari setelah wafatnya Bah Ajuk, Uak mengajak saya... berkumpul dengan kelima anaknya untuk berdiskusi. Katanya ada hal yang penting untuk dibicarakan. Setelah semuanya berkumpul, Uak memulai pembicaraan dengan suara berat tetapi... tetap berwibawa. “Saya akan membicarakan kebaikan orang yang sudah wafat tiga hari yang lalu (maksudnya Bah Ajuk), karena tidak berdosa membicarakan kebaikan orang yang sudah meninggal”. Ua sedikit berargumen. Setelah menghirup teh yang terhidang, Ua kemudian melanjutkan perkataannya , “Marzuki teman saya sejak muda. Sama sama anak petani, sama sama dari desa, sama sama tidak tamat sekolah SLTA dan ngaji dipesantren yang sama. Marzuki adalah sosok yang dihadirkan Allah swt ke tengah kehidupan kita, yang memberi pesan bahwa untuk menjadi manusia mulia dan dermawan tidak harus kaya, berkedudukan dan berjabatan tinggi. Marzuki adalah manusia bergolongan orang biasa saja, pedagang pepaya dan tukang nasi uduk. Tapi akhlaknya luar biasa. Terlalu jauh rentang masanya untuk melihat potret Rasulullah dan para sahabat yang telah hidup dengan akhlak islami yang mulia. Seperti apa keagungan mereka di masa itu tentu sangat luar biasa, sehingga tatanan masyarakat saat itu menjadi kuat, berkah dan madani justru karena setiap individu hidup dengan prilaku islami. Marzuki adalah contoh manusia yang sezaman dan seruang dengan kita yang mampu mengaktualkan ajaran Rasulnya. Marzuki bukan nabi atau wali. Dia seorang muslim biasa yang selalu mendasari setiap nafas hudupnya dengan nilai nlai luhur seperti digariskan Al Quran dan sunah Rasul. Dia dicintai banyak orang bukan karena materi atau popularitasnya. Dia dicintai justru karena dia mencintai setiap orang dengan cintanya yang tulus. Dia senang dan bahagia melihat orang lain senang dan bahagia. Hatinya bersih dari sifat iri, dengki, riya dan sombong . Sesuatu yang mudah diucapkan tapi sulit untuk dilakukan.” Ucapan Uak agak tersendat , mungkin agak berat membicarakan semua kebaikannya. Ketika disampaikan pertanyaan banyak orang tentang rumus dagang nasi uduknya yang menurut logika orang banyak pasti rugi setiap hari, tapi tidak pernah bangkrut bangkrut, Uak kembali menegakan posisi duduknya, kembali bersemangat. “Tentang nasi uduk yang jadi buah bibir. Banyak orang mengira dan menduga yang bukan bukan. Astagfirullah Al a’dziim ada yang mengira Marzuki dapat dana cendana, ada juga yang menyebut Marzuki melihara jin dan tuyul. Tidak. Marzuki menggunakan kekuatannya sendiri. Dia pakai tenaga sendiri dan istrinya, uang untuk modalnyapun uangnya sendiri. Dia tidak pernah berutang kepada siapapun. Saya pernah mendesak padanya untuk menjelaskan bagaimana dia mengelola semuanya ini. Dia selalu menjawab biarlah ini menjadi rahasia dirinya beserta istrinya saja. Tetapi setelah berkali kali didesak, dia baru mau menjelaskan asal berjanji untuk tidak menceritakannya kembali kepada siapapun selama dia masih hidup. Sekarang dia sudah wafat dan saya akan menceritakannya untuk kalian dengar dan kalian teladani”.
Uak adalah tokoh di daerah situ. Berdua dengan bah Ajuk konon pernah memadamkan api tanpa bantuan alat moderen yang melahap perkampungan itu dengan cara mereka, sehingga si jago merah tidak meluas dan tidak menelan korban jiwa. Padam begitu saja. Bila bah Ajuk dikenal sebagai orang soleh dan sangat alim, Uak lebih dikesankan sebagai orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan. Ceritanya pertengahan tahun 70 an ada kerbau ngamuk masuk kampung dengan membabi buta menubruk apapun yang ditemuainya hingga jatuh banyak korban. Uak berhasil meringkusnya tanpa bantuan siapapun. Sendirian saja! . Kemudian awal tahun 90 an ada tiga orang preman jagoan (masyarakat menyebutnya dengan istilah ucing gering) dari kampung sebelah ngamuk karena mabuk mengacung ngacungkan senjata tajam menantang semua orang dan meresahkan warga. Uak melumpuhkan mereka dalam hitungan detik saja. Sekali gebrak ketiga tiganya tidak berkutik, konon yang seorang bahkan terlempar sejauh 100 meter. Sekarang Uak yang terkenal gagah terlihat meneteskan air mata mengenang sosok bah Ajuk.”Modal jualan nasi uduk Marzuki bukan dari cendana ataupun dari mana mana, itu adalah uang tabungan dia dan istrinya yang dikumpulkan selama lima belas tahun sejak dia jualan pepaya. Mereka menabung uang itu untuk naik haji. Bayangkan selama lima belas tahun dia nabung. Selama lima belas tahun pula dia tawakal dengan niat yang bulat untuk berhaji dengan hasil keringatnya sendiri. Setelah merasa cukup uang tabungan itu dan dia sudah daftar serta mendapat porsi untuk berangkat haji, tiba tiba krisis moneter melanda negeri ini. Banyak orang di kampung ini jadi makin miskin. Bahkan ada yang terpaksa berpuasa berhari hari karena tidak mampu membeli makanan. Jangankan memikirkan lauk pauknya, untuk beli berasnyapun banyak yang tak sanggup!. Marzuki tidak tega melihat kondisi itu, jiwa mulianya menolak berangkat haji . Akhirnya tabungannya dia jadikan modal untuk memberi makan kepada saudara –saudaranya. Setiap hari dia merugi dan mensubsidi dagangannya tidak kurang dari tiga ratus ribu rupiah. Dia tidak merasa sedang berjualan dengan manusia, dia sangat kuat aqidahnya. Dia berdagang dengan Allah swt. Dan dia yakin pasti tidak akan rugi. Dan anehnya sampai tutup usianya, tabungannya ternyata masih bersaldo besar, cukup untuk naik haji berdua. Sekarang istrinya masih memegang buku tabungannya yang diwasiatkan untuk digunakan untuk berhaji tahun ini juga dengan saya orang yang dipercayainya . Makanya saya kumpulkan kalian untuk mensyukuri semua ini sekaligus mendo’akan semoga saya bisa menunaikan amanah almarhum sahabat saya Marzuki”. Kemudian Uak memimpin do’a .
Selepas berdo’a saya memaksakan diri bertanya pada Uak tentang darimana tabungan Bah Ajuk yang jumlahnya tidak berkurang bahkan bertambah meskipun digunakan untuk memberi makan banyak orang selama bertahun tahun. Uak menjawab sambil menatap tajam ke arahku.”Kamu harus baca dan yakini firmanNya dalam Alqur’an surat As Saba ayat 39 . ‘apapun yang kamu belanjakan (infakkan) di jalan Allah, Allah pasti menggantinya’. Itulah inti beragama; diyakini dan diaktualkan dalam perilakumu secara benar dan ikhlas”.
Dikutip dari:
http://islamarket.wordpress.com/2009/03/22/kamu-infaq-alloh-ganti/
Sebanyak 251 naskah Alquran kuno masih tersimpan. Upaya pemeliharaan juga melalui penghafalan dan penulisan kembali Alquran.
Pada masa kenabian, setiap tahun, Malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW. Dia lantas memeriksa bacaan Alquran dengan cara meminta Rasulullah mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan sebelumnya.
Hal yang sama kemudian juga dilakukan oleh Rasulullah dengan mengontrol bacaan para sahabat. Demikianlah upaya yang dilakukan untuk menjaga serta memelihara kemurnian ayat-ayat Alquran, yang merupakan firman Allah SWT.
Dari hal tersebut, dapat dicermati, bahwa menjaga kemurnian Alquran amatlah ditekankan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini mengingat kemuliaan Alquran sebagai pedoman hidup bagi umat manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia maupun akhirat.
Maka itulah, dari masa ke masa, upaya tersebut harus senantiasa terpelihara, baik dari kesalahan penulisan, terlebih dari kemungkinan ’sabotase’ oleh musuh-musuh umat Islam, berupa pengubahan huruf, makna ataupun penafsiran secara sengaja.
Keinginan untuk meneguhkan tekad dalam memelihara kemurnian Alquran, mengemuka pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Alquran yang diselenggarakan Departemen Agama (Depag) RI di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, 23-25 Maret lalu. Tercatat sebanyak 97 ulama dan pakar ilmu Alquran mengikuti kegiatan ini.
Para peserta sepakat, bahwa kemurnian Alquran harus dijaga, baik tulisan Arab-nya maupun penafsirannya. Seperti dikatakan Kepala Litbang dan Diklat Departemen Agama Prof Dr H Atho Mudzhar, pemerintah (umara) dan umat Islam Indonesia telah menaruh perhatian besar terhadap upaya ini.
Hal itu dikonkretkan dengan pembentukan Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, tim penerjemah Alquran serta penulisan tafsirnya. Tak ketinggalan adanya lembaga pendidikan dan pengajaran Alquran serta penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ).
Lebih lanjut diungkapkan, dari penelitian, kini terdapat sekitar 251 naskah Alquran kuno yang tersimpan, baik di museum-museum daerah maupun perorangan. Ini membuktikan bahwa Alquran akan tetap terpelihara, baik melalui hafalan para penghafal Alquran maupun penulisan kembali yang dilakukan secara terus menerus.
Sebenarnya, usaha menjaga berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Alquran, sudah intensif diupayakan sejak tahun 1957. Kala itu, dibentuklah suatu lembaga semacam kepanitiaan untuk me-nashih setiap mushaf Alquran yang akan dicetak dan diedarkan ke masyarakat.
Lembaga ini bernama Lajnah Pentashihah Mushaf Alquran. Lantaran tugasnya semakin berat, sejak tahun 2007 lajnah lantas dinaikkan posisinya sebagai institusi sendiri dalam organisasi di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama.
Pada kesempatan sama, Menteri Agama Dr Muhammad Maftuh Basyuni menilai mukernas sangat penting dalam menjaring masukan dan saran dari para alim ulama dan pakar dalam menjaga kemurnian Alquran sekaligus pemasyarakatan Alquran. ”Khususnya dalam penyempurnaan tafsir Alquran yang dilakukan Depag,” tegas dia.
Menag menekankan, selain menjadi kewajiban umat Islam di seluruh dunia untuk... memelihara ayat Alquran, tugas berat juga diamanatkan kepada lembaga-lembaga dengan kompetensi yang di dalamnya ditetapkan para ahli di bidangnya baik dari segi tahfiz, rasm, tanda baca, tandawaqaf, qiraat, tajwid, terjamah, tafsir, dan ulumul Quran.
Mengawal pemahaman
Lebih lanjut Menag mengingatkan, titik krusial dalam teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal dan makna. Tidak jarang ditemukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang menyulitkan, namun tidak sedikit juga ditemukan pemahaman yang begitu longgar bahkan liberal.
”Oleh karena itu, tugas berat para ulama adalah mengawal pemahaman teks-teks keagamaan tersebut agar tetap benar dan baik, terhindar dari segala bentuk penyelewengan,” tandas Maftuh.
Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks, jelas Maftuh, bakal berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud (kaku) dalam menyikapi persoalan.
”Sebaliknya, terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariat. Keduanya merupakan kesalahan dan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir,” paparnya.
Di tengah masyarakat global yang plural seperti saat ini, menurut Menag, diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya. Yakni tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks.
Sementara Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Nangroe Aceh Darussalam –sederajat MUI (Majelis Ulama Indonesia) Prof Dr Muslim Ibrahim MA sependapat bahwa tugas ulama dan seluruh umat Islam untuk menjaga kemurnian ayat-ayat suci Alquran, baik dari segi penulisan, terjemah, pemahaman dan sebagainya.
”Kemurnian Alquran harus kita jaga, baik tulisan Arabnya maupun penafsirannya,” tegas dia.
Dikutip dari:
http://islamarket.wordpress.com/2009/04/12/kemurnian-alquran-dan-para-hafidz/
AL-FITROH GROUP
Rebana, alat perkusi yang halal untuk digunakan mulai dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai dengan sekarang zaman modern. Dalam jarak yang jauh inilah alat perkusi mengalami perubahan-perubahan positive secara continuous dengan mencoba untuk menyesuaikan keadaan zaman, dengan kata lain sedang beradaptasi layaknya mahluk hidup.
ebana telah banyak digemari terutama dikalangan pesantren dan terlebih lagi didaerah Bangsri. Meskipun alat ini kalau dipandang sangat sederhana, tetapi disisi lain alat perkusi ini dapat menimbulkan efek ataupun dampak yang positive terhadap para pendengarnya.
Pondok Pesantren Hasyim Asy`ari, inilah salah satu dari banyak pesantren yang juga menggemarinya baru-baru ini. Hingga akhirnya di tahun 2008 yang tepatnya sebelum bulan Juli ini berhasil mendirikan group rebana dengan nama “REBANA AL-FITROH”, yang sebelumnya terdapat perbedaan pendapat untuk memberikan nama group rebana kita.
Dalam pembentukan group rebana ini dipelopori oleh beberapa orang yang diantaranya adalah termasuk dalam pemain sendiri dan juga dari penanggung jawab, yang kesemua itu adalah:
1. KH. Zainal Umam, Lc. [ Penanggung jawab + Pengasuh pondok ]
2. Robbi Zakariyya [ Pelatih rebana + Pembimbing]
3. Asma`ul Ma`ruf [ Mantan ketua pondok + Pembimbing ]
4. M.B.K. Adib [ Ketua pondok `08/`09 + Vocal ]
5. Muslim/Kuslim [ Pemegang ngawil formula + vocal ]
6. Jihan Ubaidillah [ Pemegang ngawil formula + vocal ]
7. Indar Sayuko [ Wakil ketua + Pemegang ngepolo formula ]
8. Ihsanuddin [ Sekretaris + Pemegang ngepolo formula ]
9. M. Ibnu Idris [ Kesehatan + Pemegang ngepolo formula ]
10. A. Rizal Irham [ Pemegang ngepolo formula ]
11. Dian Ahlul Karim [ Pemegang ngepolo formula ]
12. Abdul Khakim [ Pemegang ngepolo formula + Marawis formula ]
13. Nurul Faizin [ Pemegang ngawil formula + Ketipung formula ]
14. Eko Kurniawan [ Humas + Pemegang ngawil formula ]
15. Muhammad Misbah [ Pemegang ngawil formula + Gong formula ]
16. M. Ibnu Abbas [ Pemegang ngawil formula ]
17. Lutfi aminuddin [ Pemegang marawis formula ]
Pada awalnya kesemua ini tak mengenal yang namanya ngepolo,dkk. Akan tetapi pada akhirnya mereka semua mengenalnya, malahan mengenal sangat dekat sekali. Semuanya mengenal karena pengasuh pondok nge’ndikan bahwasanya putra harus bisa rebana dan menyaingi rebana putri. Kenapa seperti? Karena dulunya pondok putrilah yang lagi naik daun dalam bidang rebana, sampai-sampai pengasuh memuji putri dan menyuruh putra untuk berlatih rebana. Disamping semua itu alasan yang sedikit sangat menyemangati kita adalah seperti ini: “Mantan ketua pondok yang dulu (Nur Hasmaji) boleh menikah apabila pondok putra sudah bisa rebana dengan baik”, karena nantinya rebana itu akan melantun musik pada waktu pernikahan kang maji dilangsungkan.
Sebab dari pada adanya rebana Al-Fitroh adalah berkat adanya rebana group dari pihak putri. Oleh sebab itulah penanggung jawab menyuruh kepada pembimbing untuk mencarikan seorang pelatih rebana untuk melatih putra, hingga akhirnya pembimbing mengambil Mas Robbi sebagai pelatih pondok putra untuk memanfa`atkan alat perkusi tersebut dengan baik.
Setelah beberapa bulan kita dalam proses latihan akhirnya angan-angan dari pengasuh, juga kita terwujud yaitu bisa menggunakan alat perkusi dengan baik dan teratur. Dan... sampai pada hari ini group rebana kita sudah beberapa kali nge SHOW di berbagai acara lho… juga di berbagai daerah yang berada di kabupaten Jepara, diantaranya adalah:
- Bangsri, dalam acara Muwadda`ah kelas IX MTs. HA pada bulan Juli 2008
- Bangsri, dalam acara berjanjen di Masjid An-Nur Bangsri pada tahun 2008
- Lebak, dalam acara pernikahan Nur Hasmaji dengan Mba` Ida pada bulan September 2008
- Bangsri, dalam acara seminar tentang PLTN pada tahun 2008
- Bangsri, dalam acara syukuran haji KBIH Arafah pada bulan Desember 2008
- Bangsri, dalam acara Maulidan pada bulan Maret 2009 (2X)
- Bangsri, dalam acara Muwadda`ah TPQ Kartini RW 01 pada 22 Maret 2009
Beginilah kisah kasih dari pada perjalanan rebana “AL-FITROH GROUP” yang kami bangun, disamping begitu banyaknya keenakan dalam rebana kamipun ada beberapa problem yang ternyata muncul diantaranya adalah sebagai berikut:
Tetapi meskipun seperti itu Al-Fitroh group mempunyai sesuatu yang pantas diacungi jempol dan juga dibanggakan, yaitu:
1.
2. Begitu kreatifnya rebana Al-Fitroh player dalam mengolah dan juga mengotak-ngatik formula-formula dalam rebana. (gimana kreatif bukan?)
3. Mempunyai ke PD an yang sangat tinggi meskipun masih dalam usia dini.
4. Adanya rasa kekeluargaan diantara masing-masing para pemainnya.
Begitulah perjuangan yang telah kami lakukan demi mencapai juga menggapai apa yang terbaik untuk kita dan juga yang terbaik untuk para pengasuh, pelatih maupun para pembimbing kita. Meskipun sedikit banyak masih belum lancar dan bersih dalam memainkan alat perkusi ini kami dari group rebana Al-Fitroh sudah sedikit gembira akan adanya prestasi yang dapat kita gapai bersama-sama ini. Dengan begitu para santri maupun pelajar nantinya bisa tertarik dan mau mengikuti jejak kami juga dapat meneruskan akan adanya nama “AL-FITROH GROUP” yang secara susah payah kami bangun ini. Amien, YA RABBAL ALAMIEN…