4.14.2009

Kamu Infaq, Allah Ganti !

CINTA TUKANG NASI UDUK

“cintailah semua yang ada di bumi, niscaya semua yang ada di langit akan mencintaimu” (Hadist Riwayat Al Bukhari).

Saat itu 10 Januari tahun 2002. Rumah kecil nan sederhana tanpa halaman seolah tak sanggup lagi menampung para pelayat yang terus berdatangan sejak siang. Lintas usia, lintas tempat dan lintas profesi mereka silih berganti berdatangan. Mulai anak anak, pemuda , orang tua sampai yang lanjut usia dari berbagai kampung dan latar belakang pekerjaan terus berdatangan dengan maksud bertakziah menghormati jenazah orang yang mereka cintai. Tepat jam 14.30 setelah jenazah dimandikan dan selesai dikafani, orang orang berebut ingin mengusung pasaran (keranda/alat untuk membawa jenazah) ke mushola terdekat. Demikian pula prosesi shalat jenazah. Karena terlalu banyaknya massa yang ingin shalat jenazah, akhirnya diatur sampai tiga puluh shift lebih shalat berjamaah yang dilakukan secara bergantian. Baru kali ini mushala sederhana di kampung yang dikesankan kumuh itu menampung dan melayani banyaknya jemaah. Gema takbir dan tahlil menggema, bergemuruh memecah suasana kampung yang biasanya sepi dan menyeruak menggetarkan perasaan siapapun yang datang dalam prosesi itu.

Siapakah gerangan yang wafat itu? Pejabat tinggikah? Atau orang kaya yang populer dan banyak pengikut? Ataukah ulama besar? Ternyata bukan. Dia adalah Pak Marzuki, warga biasa, tukang nasi uduk. Orang orang di kampung itu biasa memanggilnya dengan panggilan pak Ajuk atau Bah Ajuk. Tiap pagi sampai jam sembilan dia mangkal jualan nasi uduk di samping pos ronda melayani masyarakat kampung itu yang kebanyakan kaum tidak berpunya (dhuafa) atau siapapun yang ingin sarapan pagi secara murah tapi menyehatkan. Murah? Ya, saat itu ketika terjadi krisis finansial yang luar biasa dahsyat, dimana harga harga makanan dan kebutuhan pokok lainnya melambung tinggi, pak Ajuk justru menjual paket nasi uduknya seharga seribu lima ratus rupiah per porsi. Paket satu porsi itu berisikan satu bungkus nasi uduk yang sudah dibumbui dan dilengkapi goreng bawang dan irisan telur goreng serta kuah sambal, ditambah dua buah tempe goreng bertepung dan tiga tusuk cungkring (sejenis sate terbuat dari kulit sapi atau kerbau) kalau senang dengan kerupuk pak Ajuk menawarkan kerupuk yang sudah dibungkus plastik sebagai bonus tambahan.

Cukup untuk mengenyangkan perut. Mungkin karena murah dan bersih itulah setiap pagi hampir semua keluarga di kampung itu dan sekitarnya beramai ramai antri membeli nasi uduk pak Ajuk. Setiap hari pak Ajuk jadi andalan sarapan isi perut mereka yang hidup pas pasan. Dua puluh kilo gram beras setiap harinya pak Ajuk cadangkan untuk mereka. Mengapa pak Ajuk hanya menjual senilai Rp 1.500,- seporsi, padahal bila dihitung modalnya saja per porsi bisa seharga Rp 5.000,- bahkan lebih. Mari kita hitung. Cungkringnya saja bila dihitung berdasarkan standart harga bahannya saat itu bisa senilai lima ratus sampai tujuh ratus rupiah per tusuk ( di tempat lain memang dijual seribu rupiah per tusuk), kemudian tempe goreng bisa lima ratus rupiah per buah. Jadi untuk tiga tusuk cungkring dan dua buah tempe goreng saja modalnya sudah Rp 2.500,- belum lagi nasi uduk dan irisan telur serta kerupuk goreng yang dikemas plastik. Mengapa Pak Ajuk menjualnya dengan harga sangat- sangat murah? Itulah pertanyaan yang senantiasa muncul dibenak masyarakat saat itu, dan sampai akhir hayatnya pak Ajuk tidak pernah sekalipun menjawab dan menjelaskannya kepada para pembelinya. Akhirnya orang orang juga tidak pernah pusing lagi memikirkannya. Mungkin bagi mereka pertanyaan tadi tidak penting, yang penting perut mereka terjamin setiap pagi oleh olahan tangan dan kebaikan pak Ajuk. “Dari pada nanyain dan penasaran karena tidak pernah dijawab, mendingan kita syukurin aja dan kita doakan semoga pak Ajuk sehat terus dan tetap menjual nasi uduknya seharga itu” demikian kata pak RT yang berfrofesi sebagai tukang sol sepatu, meredam kepenasaranan warganya.


Pak Ajuk dicintai masyarakat sekitarnya bukan hanya karena nasi uduknya saja, tapi justru dari praktek hidup kesehariannya yang bersahaja dan berwatak mulia. Tangan dan kakinya ringan dalam memberi dan menolong. Bicaranya tidak banyak, tapi lembut, halus , menyenangkan dan menentramkan. Pandangan matanya teduh dan menyejukan, pembawaannya kalem dan mendamaikan. Kemuliaan hidupnya lebih banyak terpancar dari bahasa tubuhnya ( non verbal) dari pada bahasa verbalnya. Dia pendiam dan tidak akhli berpidato atau berceramah. Bila ada yang sakit atau tertimpa musibah, tanpa dimintapun Pak Ajuk memberi pertolongan secara total dan ikhlas. Dia mencintai masyarakat sekitarnya dengan cinta yang tulus. Kecintaannya kepada sesama apalagi yang dhuafa, mengalahkan segalanya termasuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Aktifitas kesehariannya dimulai sejak waktu shubuh, dia mengimami shalat subuh di mushala dekat rumahnya. Sementara istrinya menyiapkan jualan nasi uduk, pak Marzuki membimbing ngaji kitab kuning bagi warga sekitarnya, khususnya anak muda sampai jam setengah enam pagi. Jam enam sampai sembilan pagi dia melayani masyarakat dengan nasi uduknya. Jam sepuluhan dia ke pasar jualan pepaya. Cara jualan pepayanya pun penuh nuansa kemanusiaan. Dia kumpulkan pepaya dari para petani disekitar kampungnya dengan harga di atas harga pengepul lain, dia jajakan di kaki lima ke pembeli setianya atau dia drop ke kios buah langganannya di pasar itu. Anehnya setiap hari dagangannya selalu habis sebelum wakitu shalat ashar. “Pepaya pak Ajuk rasanya lain, selalu manis dan segar”, demikian komentar para pelanggannya. Dia shalat dhuhur di masjid pasar dan kadang kadang menjadi imam, kemudian dia teruskan berjualan sampai menjelang asar. Selepas shalat asar di mushalanya dia lanjutkan dengan mengajar Alquran bagi anak anak . Habis magrib dia membimbing para orang tua belajar baca alquran sampai isya. Demikian aktifitas rutin kesehariannya. Tempat sosialisasinya adalah rumah , mushala/mesjid dan pasar.

Orang orang di pasar menjuluki pak Marzuki sebagai orang sholeh dan dermawan. Sebagai pedagang kaki lima tentu tidak besar omset dan keuntungan dagangnya, tapi anehnya bila musibah menimpa sesama teman dagangnya, dialah yang paling pertama datang dan memberikan bantuannya. Anak anak pedagang yang terancam putus sekolah karena kesulitan biaya, dia jamin dan dijadikan anak asuhnya. Total anak asuhnya saja saat dia meninggal tidak kurang dari tiga puluh orang. Mereka adalah anak anak usia sekolah dasar dari kampung dan sekitarnya serta anak pedagang di pasar tempat dia jualan. Dia jamin biaya sekolahnya mulai SPP sampai biaya alat tulis. Pak Marzuki senantiasa menekankan kepada para orang tua anak tersebut bahwa mereka harus tamat SD. Dimata pedagang lainnya pak Marzuki adalah jaminan sekaligus teladan hidup. Dia tidak pernah menceramahi atau mengajari orang di pasar dengan mulutnya, dia mengajari dengan prilakunya yang Islami.


Saat itu banyak orang takjub sekaligus heran dengan pak Marzuki. Dari mana biaya sekolah anak anak asuhnya yang setiap tahun terus bertambah? Dia memang tidak dikaruniai seorang anakpun, tapi kecintaannya kepada anak anak asuhnya menyempurnakan jiwa asuhnya terhadap anak. Tidak hanya biaya sekolah, bila mereka sakit, pak marzuki mengobati dan menanggung biaya pengobatannya. Jadi dari mana uang pak Marzuki ? Selalu saja pertanyaan itu muncul di benak semua orang kecuali Uak saya, tetangga sekaligus sahabat dan teman dekatnya sejak remaja.

Selepas shalat shubuh tiga hari setelah wafatnya Bah Ajuk, Uak mengajak saya... berkumpul dengan kelima anaknya untuk berdiskusi. Katanya ada hal yang penting untuk dibicarakan. Setelah semuanya berkumpul, Uak memulai pembicaraan dengan suara berat tetapi... tetap berwibawa. “Saya akan membicarakan kebaikan orang yang sudah wafat tiga hari yang lalu (maksudnya Bah Ajuk), karena tidak berdosa membicarakan kebaikan orang yang sudah meninggal”. Ua sedikit berargumen. Setelah menghirup teh yang terhidang, Ua kemudian melanjutkan perkataannya , “Marzuki teman saya sejak muda. Sama sama anak petani, sama sama dari desa, sama sama tidak tamat sekolah SLTA dan ngaji dipesantren yang sama. Marzuki adalah sosok yang dihadirkan Allah swt ke tengah kehidupan kita, yang memberi pesan bahwa untuk menjadi manusia mulia dan dermawan tidak harus kaya, berkedudukan dan berjabatan tinggi. Marzuki adalah manusia bergolongan orang biasa saja, pedagang pepaya dan tukang nasi uduk. Tapi akhlaknya luar biasa. Terlalu jauh rentang masanya untuk melihat potret Rasulullah dan para sahabat yang telah hidup dengan akhlak islami yang mulia. Seperti apa keagungan mereka di masa itu tentu sangat luar biasa, sehingga tatanan masyarakat saat itu menjadi kuat, berkah dan madani justru karena setiap individu hidup dengan prilaku islami. Marzuki adalah contoh manusia yang sezaman dan seruang dengan kita yang mampu mengaktualkan ajaran Rasulnya. Marzuki bukan nabi atau wali. Dia seorang muslim biasa yang selalu mendasari setiap nafas hudupnya dengan nilai nlai luhur seperti digariskan Al Quran dan sunah Rasul. Dia dicintai banyak orang bukan karena materi atau popularitasnya. Dia dicintai justru karena dia mencintai setiap orang dengan cintanya yang tulus. Dia senang dan bahagia melihat orang lain senang dan bahagia. Hatinya bersih dari sifat iri, dengki, riya dan sombong . Sesuatu yang mudah diucapkan tapi sulit untuk dilakukan.” Ucapan Uak agak tersendat , mungkin agak berat membicarakan semua kebaikannya. Ketika disampaikan pertanyaan banyak orang tentang rumus dagang nasi uduknya yang menurut logika orang banyak pasti rugi setiap hari, tapi tidak pernah bangkrut bangkrut, Uak kembali menegakan posisi duduknya, kembali bersemangat. “Tentang nasi uduk yang jadi buah bibir. Banyak orang mengira dan menduga yang bukan bukan. Astagfirullah Al a’dziim ada yang mengira Marzuki dapat dana cendana, ada juga yang menyebut Marzuki melihara jin dan tuyul. Tidak. Marzuki menggunakan kekuatannya sendiri. Dia pakai tenaga sendiri dan istrinya, uang untuk modalnyapun uangnya sendiri. Dia tidak pernah berutang kepada siapapun. Saya pernah mendesak padanya untuk menjelaskan bagaimana dia mengelola semuanya ini. Dia selalu menjawab biarlah ini menjadi rahasia dirinya beserta istrinya saja. Tetapi setelah berkali kali didesak, dia baru mau menjelaskan asal berjanji untuk tidak menceritakannya kembali kepada siapapun selama dia masih hidup. Sekarang dia sudah wafat dan saya akan menceritakannya untuk kalian dengar dan kalian teladani”.


Uak adalah tokoh di daerah situ. Berdua dengan bah Ajuk konon pernah memadamkan api tanpa bantuan alat moderen yang melahap perkampungan itu dengan cara mereka, sehingga si jago merah tidak meluas dan tidak menelan korban jiwa. Padam begitu saja. Bila bah Ajuk dikenal sebagai orang soleh dan sangat alim, Uak lebih dikesankan sebagai orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan. Ceritanya pertengahan tahun 70 an ada kerbau ngamuk masuk kampung dengan membabi buta menubruk apapun yang ditemuainya hingga jatuh banyak korban. Uak berhasil meringkusnya tanpa bantuan siapapun. Sendirian saja! . Kemudian awal tahun 90 an ada tiga orang preman jagoan (masyarakat menyebutnya dengan istilah ucing gering) dari kampung sebelah ngamuk karena mabuk mengacung ngacungkan senjata tajam menantang semua orang dan meresahkan warga. Uak melumpuhkan mereka dalam hitungan detik saja. Sekali gebrak ketiga tiganya tidak berkutik, konon yang seorang bahkan terlempar sejauh 100 meter. Sekarang Uak yang terkenal gagah terlihat meneteskan air mata mengenang sosok bah Ajuk.”Modal jualan nasi uduk Marzuki bukan dari cendana ataupun dari mana mana, itu adalah uang tabungan dia dan istrinya yang dikumpulkan selama lima belas tahun sejak dia jualan pepaya. Mereka menabung uang itu untuk naik haji. Bayangkan selama lima belas tahun dia nabung. Selama lima belas tahun pula dia tawakal dengan niat yang bulat untuk berhaji dengan hasil keringatnya sendiri. Setelah merasa cukup uang tabungan itu dan dia sudah daftar serta mendapat porsi untuk berangkat haji, tiba tiba krisis moneter melanda negeri ini. Banyak orang di kampung ini jadi makin miskin. Bahkan ada yang terpaksa berpuasa berhari hari karena tidak mampu membeli makanan. Jangankan memikirkan lauk pauknya, untuk beli berasnyapun banyak yang tak sanggup!. Marzuki tidak tega melihat kondisi itu, jiwa mulianya menolak berangkat haji . Akhirnya tabungannya dia jadikan modal untuk memberi makan kepada saudara –saudaranya. Setiap hari dia merugi dan mensubsidi dagangannya tidak kurang dari tiga ratus ribu rupiah. Dia tidak merasa sedang berjualan dengan manusia, dia sangat kuat aqidahnya. Dia berdagang dengan Allah swt. Dan dia yakin pasti tidak akan rugi. Dan anehnya sampai tutup usianya, tabungannya ternyata masih bersaldo besar, cukup untuk naik haji berdua. Sekarang istrinya masih memegang buku tabungannya yang diwasiatkan untuk digunakan untuk berhaji tahun ini juga dengan saya orang yang dipercayainya . Makanya saya kumpulkan kalian untuk mensyukuri semua ini sekaligus mendo’akan semoga saya bisa menunaikan amanah almarhum sahabat saya Marzuki”. Kemudian Uak memimpin do’a .

Selepas berdo’a saya memaksakan diri bertanya pada Uak tentang darimana tabungan Bah Ajuk yang jumlahnya tidak berkurang bahkan bertambah meskipun digunakan untuk memberi makan banyak orang selama bertahun tahun. Uak menjawab sambil menatap tajam ke arahku.”Kamu harus baca dan yakini firmanNya dalam Alqur’an surat As Saba ayat 39 . ‘apapun yang kamu belanjakan (infakkan) di jalan Allah, Allah pasti menggantinya’. Itulah inti beragama; diyakini dan diaktualkan dalam perilakumu secara benar dan ikhlas”.

Dikutip dari:
http://islamarket.wordpress.com/2009/03/22/kamu-infaq-alloh-ganti/

0 komentar:

Posting Komentar

Komentarmu adalah kobaran api semangat buat aku ! Taruhlah secercah tuturan kata dari dirimu...// THNX U !

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...